Oleh : Martha Wamber )*
Langkah konkret pemerintah dalam mempercepat pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Papua Barat Daya menandai fase baru pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Tanah Papua. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan MBG yang dipimpin langsung oleh pejabat tinggi daerah menjadi indikasi bahwa program ini bukan sekadar janji, melainkan bagian integral dari strategi nasional untuk memajukan kawasan timur Indonesia melalui intervensi gizi yang terukur.
Anggota BP3OKP Perwakilan Provinsi Papua Barat Daya, Otto Ihalauw, menilai bahwa kehadiran Satgas Percepatan merupakan bentuk nyata keseriusan pemerintah. Percepatan ini dilakukan menyusul tindak lanjut rapat nasional yang melibatkan para kepala daerah se-Tanah Papua. Penunjukan Wakil Gubernur sebagai Ketua Satgas Percepatan MBG menjadi sinyal kuat bahwa pelaksanaan program ini diposisikan sebagai prioritas utama pembangunan sosial di daerah.
Pembentukan Satgas tidak hanya berfungsi sebagai instrumen koordinasi, tetapi juga sebagai jembatan awal menuju kehadiran Badan Gizi Nasional (BGN) di Papua Barat Daya. Dengan keberadaan BGN, pelaksanaan MBG dapat berjalan lebih sistematis dan terintegrasi dengan berbagai lembaga lokal. Mekanisme ini memungkinkan transfer kebijakan pusat ke daerah berjalan lancar tanpa mengorbankan konteks lokal yang sangat penting dalam pengelolaan pangan.
Otto Ihalauw menekankan pentingnya Satgas sebagai pengawal pelaksanaan program, khususnya dalam fase awal. Tugas utama Satgas meliputi pengawasan terhadap penyediaan fasilitas, pemenuhan bahan makanan bergizi, dan distribusi yang tepat sasaran. Fungsi strategis ini menjadi krusial mengingat besarnya tantangan geografis dan logistik di Papua Barat Daya. Dengan pengawasan terstruktur, potensi kekurangan pangan maupun gangguan teknis lainnya dapat diminimalkan sejak dini.
Saat ini, sebanyak 22.000 penerima manfaat tercatat sebagai sasaran MBG di Papua Barat Daya. Mereka dilayani melalui 59 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di enam kabupaten dan kota. Skala ini menunjukkan besarnya cakupan program dan kompleksitas teknis yang dihadapi, sekaligus membuka ruang partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaannya.
Anggota Komisi IX DPR RI, Obet Rumbruren, mengungkapkan bahwa masyarakat Manokwari Selatan mulai merasakan dampak positif dari hadirnya MBG. Tidak hanya anak-anak yang menerima makanan bergizi secara rutin, namun keluarga secara keseluruhan merasakan ketenangan karena kebutuhan dasar anak-anak mereka dijamin negara. Penerimaan masyarakat yang positif menjadi indikator bahwa program ini mampu menjawab kekhawatiran lama terkait stunting dan malnutrisi.
MBG tidak hanya menyentuh aspek gizi, tetapi juga berdampak pada sektor ekonomi lokal. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dapur MBG membuka peluang kerja dan sirkulasi ekonomi baru di tingkat desa. Di Manokwari Selatan, dua dapur MBG yang beroperasi di Distrik Ransiki dan Oransbari melayani lebih dari 7.000 penerima manfaat. Model ini memperlihatkan bahwa pendekatan program tidak bersifat top-down, melainkan kolaboratif dan berbasis komunitas.
Lebih lanjut, Obet Rumbruren menyoroti potensi bahan pangan lokal seperti rumput laut yang dapat dimanfaatkan dalam penyusunan menu MBG. Selain nilai gizinya tinggi, integrasi bahan lokal memperkuat kedaulatan pangan daerah dan memperpendek rantai distribusi. Strategi ini juga memupuk kesadaran masyarakat akan potensi yang mereka miliki dalam memperkuat ketahanan gizi anak-anak.
Program MBG juga dirancang selaras dengan visi besar Presiden Prabowo Subianto, yakni mencetak generasi muda yang sehat, cerdas, dan berdaya saing. Program ini bukan sebatas bantuan sosial, tetapi investasi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045. Visi ini terefleksi dalam sistem pengawasan ketat yang memastikan keamanan dan kualitas makanan yang disajikan kepada anak-anak sekolah.
Obet Rumbruren menegaskan bahwa pengawasan gizi dan kualitas pangan dalam program ini akan dilakukan secara berlapis. Ini penting untuk memastikan bahwa MBG tidak hanya menjawab kebutuhan jangka pendek, tetapi benar-benar menjadi alat transformasi sosial yang berkelanjutan. Setiap menu yang disiapkan akan melalui proses verifikasi gizi dan uji kelayakan konsumsi.
Kunci keberhasilan MBG juga terletak pada dukungan aktif kepala daerah. Obet Rumbruren mengimbau seluruh bupati di Papua Barat untuk turut mensukseskan program ini. Peran kepala daerah tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai motor penggerak koordinasi lintas sektor. Dalam konteks Papua, di mana tantangan geografis dan sosial sangat khas, kepemimpinan daerah menjadi elemen sentral.
MBG di Papua Barat Daya menghadirkan model pembangunan inklusif yang menjawab kebutuhan dasar masyarakat sekaligus menggerakkan potensi lokal. Keterlibatan langsung masyarakat, pendampingan institusional melalui Satgas, serta dukungan penuh dari pemerintah pusat, menciptakan ekosistem kolaboratif yang kokoh. Program ini merefleksikan arah baru pembangunan Papua yang tidak hanya berorientasi pada infrastruktur fisik, tetapi juga investasi pada kualitas manusia.
Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk nyata keberpihakan negara terhadap masyarakat di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Dengan MBG, Papua tidak hanya membangun tubuh-tubuh kecil yang sehat, tetapi juga merancang masa depan yang lebih cerah melalui generasi cerdas, kuat, dan mandiri.
)* Penulis merupakan Mahasiswa di Surabaya asal Manokwari