Jakarta Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali mencuat ke permukaan, seiring dengan upaya DPR RI periode 20242029 yang berkomitmen menyusun regulasi baru yang lebih adil dan modern. Salah satu fokus penting dari RUU ini adalah memperkuat peran advokat dalam sistem peradilan pidana serta menegaskan fungsinya sebagai penjaga hak asasi manusia (HAM).
Dalam sebuah diskusi publik bertajuk Mengoptimalkan Fungsi Advokat sebagai Guardian of Human Rights dalam RUU KUHAP, Senior Partner LSM Law Office, Todung Mulya Lubis, menegaskan bahwa dalam sistem hukum yang belum ideal, advokat memikul kewajiban moral dan profesional untuk tetap memperjuangkan keadilan.
Jika ada hirarki antara hukum dan keadilan, saya akan selalu memilih keadilan, ujarnya
Todung juga menyoroti ancaman rule by law yang berpotensi menjadi alat kekuasaan yang menindas, serta pentingnya menjunjung tinggi rule of law sebagai jaminan keadilan substantif.
Bahwa ekosistem hukum di Indonesia masih rentan korupsi, sehingga pembaruan KUHAP harus diarahkan untuk menutup celah-celah tersebut, jelasnya.
Senada, advokat Albert Aries menyebut bahwa KUHAP adalah konstitusi mini dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Ia mendorong agar RUU KUHAP mengatur secara tegas soal imunitas advokat, yakni perlindungan hukum bagi advokat yang menjalankan profesinya dengan iktikad baik.
Jangan sampai advokat yang menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik malah dipidana, tegasnya.
Albert juga menyoroti pentingnya mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, serta perlunya pengawasan ketat terhadap praktik suap dalam sistem peradilan.
Jika celah untuk menyuap masih ada, maka menyuap akan dianggap lebih murah daripada membayar pidana pengganti yang nilainya triliunan, katanya.
Sementara itu, advokat Tony Budidjaja menekankan bahwa advokat harus menjadi voice of the voiceless membela mereka yang tidak memiliki akses ke keadilan. Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam proses pengadilan, merujuk pada kasus penggantian ketua majelis hakim oleh Ketua Pengadilan Negeri tanpa penjelasan yang memadai.
Praktik seperti ini menunjukkan lemahnya akuntabilitas lembaga peradilan dan membuka ruang mafia peradilan, ungkapnya.
Dalam proses legislasi, Komisi III DPR telah membuka ruang partisipasi luas melalui berbagai kegiatan penyerapan aspirasi, melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, hingga aparat penegak hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan RUU KUHAP dilakukan secara inklusif dan transparan.
Dengan memperkuat peran advokat serta menjamin perlindungan HAM, RUU KUHAP diharapkan mampu menghadirkan sistem hukum yang lebih berkeadilan, bersih, dan berpihak pada rakyat. {}