Revisi UU TNI: Langkah Strategis Menuju TNI yang Profesional dan Modern

Oleh : Farhan Farisan )*

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 20 Maret 2025 lalu. Keputusan ini merupakan tonggak penting dalam upaya memperkuat postur pertahanan nasional dan menyesuaikan peran TNI dengan dinamika perkembangan zaman.
Revisi ini tidak hanya memperjelas batasan tugas TNI, tetapi juga membuka peluang bagi prajurit aktif untuk berkontribusi dalam sektor sipil, tentunya dengan tetap menjaga prinsip supremasi sipil dan demokrasi. Salah satu perubahan signifikan dalam revisi ini adalah penambahan dua tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yaitu menanggulangi ancaman siber juga melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Penambahan ini mencerminkan adaptasi TNI terhadap ancaman non-konvensional yang semakin kompleks di era digital dan globalisasi. Dengan demikian, TNI diharapkan dapat lebih responsif dan efektif dalam menjaga kedaulatan negara.
Kepala Biro Humas Setjen Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI, Frega Wenas Inkiriwang menjamin bahwa militer tidak akan memata-matai sipil usai disahkannya revisi UU TNI. Frega menyatakan tugas pertahanan siber TNI yang termuat dalam undang-undang bukan untuk memata-matai masyarakat sipil. Iapun menyebut Kemhan memahami perbedaan pendapat dalam negara demokrasi. Menurutnya, kritik untuk lembaga pertahanan atau pemerintah adalah bentuk ekspresi yang wajar.
Humas Kemhan itu meminta masyarakat tidak perlu khawatir tentang revisi UU TNI bakal membelenggu kebebasan sipil dan berekspresi. Menurutnya, pertahanan siber akan berfokus dalam konteks “lebih besar”. Frega menjelaskan bahwa tentara akan dikerahkan membendung persepsi negatif hingga disinformasi terkait kedaulatan negara. Frega menilai terdapat pihak eksternal yang ingin menciptakan misinformasi, disinformasi, hingga malinformasi.
Revisi UU TNI juga mengatur mengenai jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Dalam UU yang lama, prajurit aktif hanya diperbolehkan menduduki posisi di pemerintahan setelah mengundurkan diri atau pensiun. Namun, dalam versi baru UU TNI, anggota TNI aktif kini diperbolehkan untuk menjabat di 14 kementerian atau lembaga, seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Keamanan Laut. Jabatan tersebut dapat diisi oleh prajurit TNI aktif hanya berdasarkan permintaan kementerian/lembaga dan harus tunduk pada ketentuan dan administrasi yang berlaku. Di luar itu, TNI harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan jika hendak mengisi jabatan sipil.
Revisi regulasi ini juga memperpanjang usia pensiun bagi prajurit TNI. Batas usia pensiun bagi bintara dan tamtama diperpanjang menjadi 55 tahun, sementara perwira hingga pangkat kolonel tetap pada usia 58 tahun. Untuk perwira tinggi, masa dinas diperpanjang, khususnya bagi bintang empat, yakni 63 tahun dan maksimal 65 tahun. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi prajurit yang masih memiliki kapasitas dan dedikasi tinggi untuk terus berkontribusi dalam menjaga pertahanan negara.
Selain itu, revisi UU TNI juga menekankan pentingnya modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) melalui penguatan industri pertahanan dalam negeri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian produksi alutsista serta memperkuat kemampuan tempur TNI dalam menjaga kedaulatan negara. Di sisi lain, peningkatan kesejahteraan prajurit juga menjadi fokus utama. RUU ini mencakup perbaikan sistem jaminan sosial bagi keluarga prajurit, serta penyesuaian usia pensiun dan jenjang karier sesuai kebutuhan organisasi.
Meskipun revisi ini memberikan ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, hal ini tidak berarti bahwa TNI akan kembali ke era dwifungsi ABRI. Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa revisi ini tidak akan mengembalikan dwifungsi ABRI. Seluruh posisi yang diduduki perwira TNI tetap disesuaikan dengan kebutuhan dan tugas yang diperlukan oleh presiden. Dengan demikian, prinsip netralitas dan supremasi sipil tetap dijaga.
Kepala Hukum (Kakum) Koharmatau, Letkol Kum Anwar Musyadad, menyampaikan bahwa TNI tetap menjunjung tinggi prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi. Ia menegaskan bahwa TNI akan terus menjaga keseimbangan antara peran militer dan otoritas sipil dengan mematuhi garis profesionalisme dalam pelaksanaan tugas. Prinsip ini selaras dengan komitmen Panglima TNI yang disampaikan dalam rapat bersama Komisi I DPR RI.
Senada, Fraksi Partai Gerindra DPR RI juga menyatakan bahwa revisi UU TNI sejalan dengan prinsip supremasi sipil dan semangat reformasi. Ketua Fraksi Gerindra DPR, Budisatrio Djiwandono, menegaskan bahwa revisi ini bukan langkah mundur dalam reformasi TNI, tetapi merupakan bentuk adaptasi terhadap dinamika pertahanan modern. Revisi ini memastikan TNI siap menghadapi tantangan zaman dan memperkuat pertahanan negara terhadap ancaman baru yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI.
Pengesahan revisi UU TNI merupakan langkah strategis dalam memperkuat postur pertahanan nasional. Dengan penambahan tugas pokok, peluang jabatan sipil bagi prajurit aktif, penyesuaian usia pensiun, dan fokus pada modernisasi alutsista serta kesejahteraan prajurit, TNI diharapkan dapat menjadi institusi yang profesional dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Dukungan terhadap revisi ini menunjukkan komitmen untuk menjaga kedaulatan negara dan memastikan TNI tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan dan pertahanan Indonesia.

)* Penulis adalah mahasiswa Bandung tinggal di Jakarta

More From Author

Pemerintah Tingkatkan Kerja Sama Internasional Berantas Judi Daring

Pemerintah Terapkan Pengamanan Berlapis Dana MBG Cegah Penyimpangan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *