Oleh: Rikcy Rinaldi
Dinamika ekonomi global kembali diuji setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang kini kembali menjabat, memutuskan untuk menaikkan tarif impor terhadap berbagai negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Kebijakan sepihak tersebut sontak memicu kekhawatiran pasar dunia, termasuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Meski Trump menunda implementasi tarif tersebut selama 90 hari, pemerintah Indonesia tetap melakukan berbagai upaya negosiasi untuk mencegah dampak yang lebih luas terhadap perekonomian nasional.
Namun, pemerintah Indonesia merespons dengan kepala dingin. Alih-alih bersikap reaktif, strategi yang diambil adalah pendekatan terukur, terkoordinasi, dan fokus pada stabilitas jangka panjang.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan bahwa Indonesia berpegang teguh pada prinsip perdagangan internasional yang adil dan saling menguntungkan. Beliau menekankan bahwa pemerintah tidak akan gegabah dalam menghadapi kebijakan proteksionis AS, melainkan akan menempuh jalur diplomasi yang aktif dan bermartabat. Prabowo juga menyatakan bahwa Indonesia tidak tertutup terhadap kemungkinan pembukaan kerja sama bilateral baru selama tetap menjaga kepentingan nasional sebagai prioritas utama.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang tetap menjabat dalam Kabinet Prabowo setelah sebelumnya bertugas di era Presiden Joko Widodo, menjadi sosok sentral dalam menjaga arah kebijakan fiskal. Dalam forum ASEAN Finance Ministers di Kuala Lumpur pada awal April 2025, Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia masih memiliki ruang fiskal yang cukup dan cadangan devisa yang kuat untuk menjaga kestabilan ekonomi nasional. Ia juga menyatakan bahwa pemerintah siap menggunakan insentif fiskal secara selektif untuk meredam dampak tekanan eksternal.
Langkah konkret segera diambil, mulai dari pemberian insentif pajak bagi pelaku ekspor yang terdampak kebijakan tarif, hingga percepatan restitusi PPN dan pelonggaran bea masuk atas bahan baku impor untuk industri padat karya. Pemerintah menilai bahwa ketahanan sektor industri adalah kunci menghadapi ketidakpastian global, karena dampaknya langsung terasa di tingkat lapangan kerja dan produktivitas.
Selain strategi jangka pendek, pemerintah juga merancang kebijakan jangka menengah yang berorientasi pada transformasi pasar ekspor. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebut bahwa negara-negara di kawasan Afrika Timur, Timur Tengah, dan Asia Selatan menjadi target baru untuk penetrasi pasar Indonesia. Ia menekankan pentingnya diversifikasi pasar agar Indonesia tidak lagi terlalu bergantung pada satu atau dua mitra dagang besar.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, turut mendukung penuh arah kebijakan ini. Beliau menginstruksikan kementerian terkait untuk menyusun peta jalan ekspor nasional yang lebih lincah dalam merespons tren global. Menurutnya, dunia saat ini berubah terlalu cepat untuk bersandar pada strategi lama. Karena itu, hilirisasi industri dan penciptaan nilai tambah di dalam negeri juga menjadi prioritas besar dalam pembangunan ekonomi nasional.
Sektor moneter pun mendapat perhatian serius. Meskipun Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, tidak banyak muncul dalam sorotan media bulan ini, pemerintah memastikan bahwa koordinasi tetap berjalan erat dengan otoritas moneter. Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi pasar dan pengelolaan cadangan devisa, namun tekanan tidak diletakkan pada nilai tukar nominal semata. Fokus utama tetap pada penguatan fundamental ekonomi nasional agar rupiah stabil secara alamiah.
Di tingkat domestik, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, secara aktif berdialog dengan pelaku usaha, baik melalui forum formal maupun pertemuan langsung dengan asosiasi industri. Ia menyampaikan bahwa pemerintah tidak hanya ingin memadamkan api sesaat, tapi juga membangun sistem ekonomi yang tahan terhadap gejolak global. Menurutnya, suara pelaku usaha penting untuk menentukan arah insentif dan relaksasi yang benar-benar berdampak.
Langkah-langkah pemerintah mendapat dukungan dari berbagai pihak. Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Boediono, yang juga dikenal sebagai ekonom senior, menyampaikan bahwa pemerintah perlu terus menjaga keseimbangan antara kebijakan fiskal dan moneter agar risiko eksternal tidak berdampak luas terhadap pelaku usaha domestik. Ia menekankan pentingnya pengelolaan eksposur risiko secara hati-hati agar stabilitas jangka panjang tetap terjaga.
Di sisi lain, respons publik terhadap kebijakan ekonomi pemerintah tergolong sangat positif. Walaupun terdapat peningkatan pembelian emas sebagai bentuk lindung nilai, kegiatan konsumsi dan belanja masyarakat tetap menunjukkan tren yang stabil. Berdasarkan survei nasional yang dirilis awal April 2025, sebanyak 67 persen responden menyatakan puas terhadap langkah-langkah pemerintah dalam menjaga perekonomian di tengah gejolak global. Angka ini mencerminkan tingkat kepercayaan publik yang sangat tinggi.
Diplomasi ekonomi juga diperkuat. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri telah mengirim delegasi ke Washington DC untuk membicarakan kemungkinan penyesuaian tarif dan membuka peluang kesepakatan dagang bilateral baru. Pemerintah juga memperkuat posisi tawar melalui kerja sama regional, termasuk mempercepat ratifikasi Comprehensive Economic Partnership Agreements (CEPA) dengan negara-negara Eropa dan Asia.
Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa tekanan eksternal tidak membuat arah kebijakan nasional kehilangan fokus. Justru sebaliknya, ketegangan global menjadi momentum untuk mempercepat transformasi ekonomi nasional agar lebih mandiri, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi.
*)Pengamat Isu Strategis