Oleh: Silvia AP )*
Di tengah dinamika ekonomi global yang menantang, langkah strategis Pemerintah yang mendorong investor dalam mengambil alih PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan Sritex membawa angin segar bagi industri tekstil nasional. Perusahaan yang sempat berjaya sebagai salah satu eksportir tekstil terbesar di Asia Tenggara ini telah melewati masa sulit dalam beberapa tahun terakhir, terutama akibat tekanan finansial dan beban utang yang menumpuk. Namun, dengan masuknya pemodal baru, harapan akan kebangkitan Sritex dan revitalisasi sektor tekstil nasional kembali terbuka lebar.
Pengambilalihan ini bukan sekadar perubahan kepemilikan saham atau restrukturisasi keuangan semata. Di balik transaksi ini tersembunyi optimisme yang kuat bahwa Sritex bisa kembali bangkit sebagai pemain utama dalam industri tekstil. Para investor yang masuk membawa visi baru, strategi restrukturisasi yang lebih terarah, serta sumber daya yang cukup untuk memulihkan operasional perusahaan secara menyeluruh. Hal ini tentunya menjadi sinyal positif bagi ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya pada keberlangsungan perusahaan ini.
Gubenur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi mengatakan telah memastikan sebanyak 10.000 mantan pekerja yang sebelumnya terkena PHK akan kembali bekerja dalam waktu dekat. Ahmad Luthfi juga menegaskan bahwa masalah yang selama ini menghambat jalannya bisnis Sritex sudah dapat diselesaikan. Dia menyebut Sritex sedang dalam tahap akhir proses take over.
Selama bertahun-tahun, Sritex dikenal sebagai perusahaan tekstil terpadu yang mengelola seluruh rantai produksi, mulai dari pemintalan benang, penenunan kain, pencelupan, hingga konveksi. Model bisnis vertikal ini pernah menjadikan Sritex sebagai contoh sukses dari efisiensi produksi dan daya saing ekspor. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan eksternal seperti fluktuasi harga bahan baku, kenaikan biaya energi, serta perubahan tren konsumsi global, membuat perusahaan ini harus menghadapi tekanan besar.
Akibat krisis keuangan yang berkepanjangan, Sritex sempat masuk dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Kondisi ini menciptakan ketidakpastian bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kreditur hingga pekerja. Dalam situasi tersebut, masuknya investor baru menjadi titik balik yang sangat krusial.
Selain itu, pengambilalihan ini juga menunjukkan bahwa industri manufaktur Indonesia, termasuk tekstil, masih memiliki daya tarik di mata investor. Meskipun persaingan global semakin ketat, terutama dengan dominasi negara-negara seperti China, India, dan Bangladesh, Indonesia tetap memiliki keunggulan kompetitif, baik dari sisi tenaga kerja, sumber daya, maupun potensi pasar domestik yang besar. Jika dikelola dengan strategi yang tepat, industri tekstil nasional bisa kembali menjadi tulang punggung ekspor non-migas dan penyumbang devisa yang signifikan.
Tidak hanya dari Gubernur Jawa Tengah, dukungan untuk kebangkitan Sritex juga datang dari pemerintah. Menteri Ketenagakerjaan, Prof. Yassierli mengatakan proses pemulihan usaha Sritex menunjukkan perkembangan positif. Menurutnya, aset Sritex masih sangat potensial dan pasar industri tekstil pun masih terbuka lebar. Oleh karena itu, pemerintah berharap kegiatan produksi perusahaan bisa berjalan kembali dalam waktu dekat.
Harapan juga tertuju pada aspek ketenagakerjaan. Para pekerja yang sebelumnya terancam kehilangan pekerjaan kini bisa melihat masa depan yang lebih cerah. Perusahaan yang sehat secara finansial tentu lebih mampu memberikan kepastian kerja, meningkatkan kesejahteraan karyawan, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif. Tidak hanya itu, program pelatihan ulang, peningkatan keterampilan, serta integrasi teknologi baru dalam proses produksi diharapkan bisa membuka peluang kerja yang lebih luas dan lebih berkualitas di masa mendatang.
Langkah investor mengambil alih Sritex seakan menjadi sinyal bahwa industri tekstil Indonesia belum selesai, bahkan justru berada di ambang fase baru yang lebih progresif. Keputusan ini menegaskan bahwa dengan pendekatan yang tepat, komitmen yang kuat, dan strategi yang terukur, perusahaan yang sempat terguncang pun bisa kembali bangkit. Lebih dari itu, keberhasilan proses ini akan menjadi pembelajaran penting bagi perusahaan lain di sektor yang sama, bahwa perubahan dan inovasi adalah kunci bertahan di tengah tekanan zaman.
Keterlibatan pemerintah juga akan sangat menentukan keberhasilan revitalisasi ini. Dukungan kebijakan industri yang kondusif, kemudahan akses terhadap pembiayaan, hingga penguatan infrastruktur logistik akan memperkuat daya saing sektor tekstil. Di sisi lain, pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan standar ketenagakerjaan dan perlindungan lingkungan juga menjadi bagian dari tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa kebangkitan industri ini tidak mengorbankan nilai-nilai sosial.
Wakil Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Solo, Jawa Tengah, Sri Saptono Basuki berharap, rencana operasional PT Sritex dengan investor baru tersebut bisa direalisasikan secepatnya. Basuki juga meminta Pemkab Sukoharjo memberikan perhatian dan mendorong agar rencana PT Sritex beroperasi lagi dengan investor baru terlaksana.
Bagi para pekerja, kembalinya Sritex ke jalur pertumbuhan adalah kabar yang dinantikan. Setelah bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian, kini mereka memiliki harapan baru untuk kembali bekerja dalam sistem yang lebih baik, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan. Dalam konteks yang lebih luas, ini bukan hanya kebangkitan satu perusahaan, tetapi cerminan dari potensi industri tekstil nasional yang sesungguhnya.
)* Penulis adalah tim redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ideas