Oleh: Silvia AP )*
Langkah pemerintah Indonesia membentuk Satuan Tugas (Satgas) Deregulasi menandai sebuah respons strategis dalam menghadapi dinamika perdagangan global yang semakin kompleks, terutama pasca kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Situasi ini bukan hanya berkaitan dengan isu ekonomi semata, tetapi juga menjadi refleksi dari bagaimana negara berkembang seperti Indonesia menyusun taktik diplomasi ekonomi dalam kerangka global yang sarat kepentingan.
Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, memiliki posisi strategis dalam peta ekspor nasional. Namun, kebijakan proteksionisme yang semakin menguat di bawah dalih melindungi industri dalam negeri AS telah menciptakan tekanan tersendiri bagi negara-negara mitra, termasuk Indonesia. Tarif impor yang diberlakukan tidak hanya menyasar produk manufaktur, tetapi juga komoditas unggulan yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia, seperti produk karet, tekstil, dan elektronik. Dengan diterapkannya tarif tambahan tersebut, biaya ekspor meningkat signifikan dan menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar AS. Hal ini berdampak langsung pada sektor industri dalam negeri, terutama sektor padat karya yang rentan terhadap fluktuasi permintaan global.
Menyadari kompleksitas tantangan yang ada, pemerintah Indonesia pun mengambil langkah taktis. Presiden Prabowo Subianto membentuk Satuan Tugas Deregulasi (Satgas Deregulasi) untuk menghadapi ancaman tarif impor yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Satgas itu dibentuk seiring upaya pemerintah melobi AS untuk menghapus tarif 32 persen untuk barang-barang Indonesia. Salah satu tawaran dari Indonesia adalah mempermudah aturan impor-ekspor dengan AS. Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Satgas Deregulasi akan mengurus pelonggaran sejumlah aturan impor-ekspor dengan AS. Salah satu tugas Satgas Deregulasi adalah mengurusi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang rencananya akan direlaksasi atau fleksibilitas TKDN, khususnya sektor Information, Communication and Technology (ICT).
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto merespons serangan tarif dagang Presiden AS Donald Trump tanpa perlawanan balik. Presiden prabowo mengatakan justru Indonesia bersedia membuka pintu impor untuk AS. Presiden memerintahkan anak buahnya untuk tak lagi membatasi impor menggunakan kuota, juga meminta syarat TKDN dikaji ulang. Dua aturan itu memang menjadi sorotan Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) terkait penentuan tarif 32 persen untuk Indonesia.
Selain itu, pembentukan Satgas Deregulasi merupakan sinyal kuat bahwa pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi tekanan eksternal. Langkah ini mengirimkan pesan ke pelaku usaha bahwa negara hadir memberikan solusi nyata untuk menjawab tantangan global. Dalam jangka pendek, deregulasi diharapkan mampu memberikan ruang bernapas bagi dunia usaha untuk menyesuaikan strategi bisnisnya. Dalam jangka panjang, deregulasi yang konsisten dan terukur akan membentuk struktur ekonomi nasional yang lebih tangguh dan adaptif terhadap gejolak eksternal.
Menteri Perdagangan, Budi Santoso mengatakan bahwa Satgas Deregulasi nantinya akan bekerja mengevaluasi dan menyederhanakan berbagai aturan teknis yang selama ini menyulitkan pelaku usaha. Pembentukan satgas ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam merespons tantangan global, sekaligus menjawab tuntutan pasar internasional. Dalam konteks hubungan dagang dengan AS, deregulasi dipandang penting agar produk Indonesia makin kompetitif.
Budi mengatakan, konsep kerja Satgas nantinya akan dibahas bersama antar kementerian dan lembaga (K/L) terkait. Setelah terbentuk, tim ini akan mengkaji aturan yang berpotensi disederhanakan atau dihapus demi mendukung iklim perdagangan yang lebih sehat. Respons ini juga memperlihatkan bahwa pemerintah memahami pentingnya kolaborasi antara sektor publik dan swasta. Satgas Deregulasi bukan hanya forum internal pemerintah, tetapi menjadi titik temu dialog antara pembuat kebijakan dan pelaku usaha.
Langkah deregulasi yang diambil juga tidak berarti melemahkan fungsi kontrol dan pengawasan negara. Justru, dengan menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih dan berlebihan, efektivitas pengawasan bisa ditingkatkan. Regulasi yang terlalu banyak dan tidak harmonis sering kali menciptakan celah bagi ketidakpastian hukum, dan dalam beberapa kasus, menjadi sumber korupsi. Oleh karena itu, deregulasi yang dirancang dengan prinsip tata kelola yang baik akan memperkuat posisi negara sebagai fasilitator pembangunan, bukan sebagai penghambat.
Dalam kerangka kebijakan luar negeri, langkah ini juga bisa dibaca sebagai bentuk penyesuaian strategis terhadap geopolitik ekonomi global. Indonesia tidak hanya bersikap reaktif terhadap kebijakan AS, tetapi juga proaktif dalam memperkuat struktur ekonominya dari dalam.
Dampak dari tarif impor AS memang tidak bisa dihindari sepenuhnya, tetapi melalui kebijakan deregulasi yang tepat, tekanan tersebut bisa diminimalkan. Misalnya, jika proses perizinan ekspor dapat dipangkas dari yang sebelumnya memakan waktu mingguan menjadi hanya beberapa hari, maka efisiensi ini akan meningkatkan kecepatan respon industri terhadap permintaan pasar luar negeri. Hal ini memberikan nilai tambah tersendiri di tengah ketidakpastian perdagangan internasional.
Di sisi lain, partisipasi publik juga menjadi faktor kunci dalam mendorong efektivitas deregulasi. Masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha harus dilibatkan dalam proses konsultasi dan pengawasan kebijakan. Media massa dan platform digital bisa dimanfaatkan untuk menciptakan ruang dialog yang konstruktif serta untuk memastikan bahwa proses deregulasi berjalan secara transparan. Dengan begitu, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan meningkat, yang pada akhirnya memperkuat legitimasi kebijakan deregulasi itu sendiri.
)* Penulis adalah tim redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ideas