Oleh : Irfan Aditya )*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu langkah strategis pemerintah dalam memperkuat fondasi pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan berdaya saing. Di tengah tantangan stunting, kurang gizi, dan ketimpangan akses pangan di berbagai daerah, program ini hadir sebagai jawaban nyata atas kebutuhan dasar masyarakat, terutama anak-anak usia sekolah. Namun, kesuksesan pelaksanaan program ini tidak hanya bergantung pada ketersediaan anggaran atau bahan pangan, melainkan sangat ditentukan oleh infrastruktur yang memadai. Infrastruktur, dalam konteks ini, mencakup berbagai aspek mulai dari sarana fisik, sistem distribusi, hingga teknologi pendukung yang mendukung kelancaran, efisiensi, dan akuntabilitas pelaksanaan program.
Pertama, infrastruktur fisik seperti dapur umum, gudang penyimpanan bahan makanan, fasilitas pengolahan makanan, serta ruang makan yang layak di sekolah-sekolah menjadi fondasi utama. Tanpa fasilitas yang memadai, sulit membayangkan makanan dapat disiapkan dan disajikan secara higienis dan tepat waktu. Oleh karena itu, investasi dalam pembangunan dan rehabilitasi dapur sekolah, penyediaan alat masak industri, serta penyimpanan makanan berbasis standar keamanan pangan perlu diprioritaskan. Di wilayah terpencil atau kepulauan, tantangan infrastruktur lebih kompleks, sehingga diperlukan pendekatan yang adaptif, seperti pengadaan dapur portabel atau kolaborasi dengan komunitas lokal yang telah memiliki fasilitas serupa.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengatakan infrastruktur menjadi kunci sukses pelaksanaan Program MBG untuk pemerataan penerima manfaat. Selain infrastruktur, dua kunci sukses lainnya dalam MBG, yakni anggaran yang telah disiapkan dan sumber daya manusia (SDM) terlatih. Kemudian, dia juga mengatakan ada empat standar dalam pelaksanaan MBG, yakni pemenuhan kebutuhan kalori, komposisi gizi, aspek higienis dan keamanan pangan. Diharapkan langkah serius ini mendukung optimisnya percepatan target MBG dengan mencapai 82,9 juta penerima manfaat pada September 2025.
Selain itu, sistem distribusi logistik menjadi bagian penting dari infrastruktur pendukung. Bahan pangan segar harus didistribusikan secara efisien dan tepat waktu dari produsen atau pusat logistik ke setiap sekolah penerima program. Untuk itu, dibutuhkan jaringan transportasi yang andal, mulai dari jalan yang layak, kendaraan pengangkut dengan sistem pendingin (cold chain), hingga manajemen logistik berbasis digital. Kolaborasi dengan koperasi petani, BUMDes, atau UMKM lokal bisa menjadi solusi dalam memperpendek rantai distribusi, sekaligus meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan begitu, program ini tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi anak-anak, tetapi juga menggerakkan roda perekonomian lokal.
Infrastruktur teknologi juga memainkan peran vital dalam memastikan program berjalan secara transparan dan efisien. Platform digital untuk pencatatan penerima manfaat, manajemen stok bahan pangan, pemantauan kualitas makanan, hingga pelaporan pelaksanaan harian dapat mengurangi potensi penyimpangan dan mempercepat pengambilan keputusan. Teknologi berbasis data juga memungkinkan evaluasi secara real-time, memudahkan pemerintah dalam mengetahui daerah mana yang mengalami kendala, serta memberikan solusi yang cepat dan tepat sasaran. Selain itu, sistem pembayaran digital kepada penyedia jasa katering atau petani lokal akan mempercepat alur keuangan dan meningkatkan kepercayaan para pelaku di lapangan.
Sementara itu, Menteri Pekerjaan Umum, Dody Hanggodo mengatakan pihaknya bersama Badan Gizi Nasional telah menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) terkait dukungan pembangunan infrastruktur pendukung program MBG, salah satunya dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dapur SPPG akan dibangun secara permanen di lahan milik Kementerian PU dengan luas lahan sekitar 900 m˛ yang mencakup bangunan dapur 300 m˛ dan lahan parkir kendaraan. Untuk ukuran dan desain dapur, akan mengikuti standar yang sudah ditetapkan oleh Badan Gizi Nasional.
Di samping itu, pendidikan gizi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari infrastruktur lunak yang mendukung keberhasilan program. Anak-anak tidak hanya diberi makanan bergizi, tetapi juga dibekali pemahaman tentang pentingnya pola makan sehat. Guru dan tenaga kesehatan di sekolah dapat menjadi agen perubahan yang menginspirasi kebiasaan baik sejak dini. Dengan demikian, program ini bukan hanya soal makan gratis, tetapi investasi jangka panjang dalam membentuk generasi yang sehat secara fisik dan mental.
Kemudian yang tak kalah penting, pelibatan masyarakat dan sektor swasta merupakan strategi penguatan infrastruktur berbasis kolaboratif. Dunia usaha dapat berkontribusi melalui program tanggung jawab sosial (CSR), penyediaan peralatan masak, pelatihan gizi, atau pendampingan teknis bagi pelaksana program. Sementara itu, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi menjamin bahwa program benar-benar sampai kepada yang berhak menerima.
Melalui pembangunan infrastruktur yang menyeluruh baik fisik, digital, sosial, maupun kelembagaan, pelaksanaan program MBG dapat berjalan optimal, berkelanjutan, dan berdampak luas. Program ini bukan sekadar bantuan makanan, melainkan bentuk nyata komitmen negara dalam membangun masa depan yang lebih cerah melalui generasi yang sehat, cerdas, dan produktif. Dengan terus memperkuat infrastruktur sebagai fondasi pelaksanaan, Program MBG bukan hanya mungkin diwujudkan, tapi juga bisa menjadi teladan global dalam membangun generasi emas melalui pendekatan yang inklusif, sistematis, dan berkelanjutan.
)* Penulis merupakan Pengamat Kebijakan Publik