Oleh: Anggi Kusumawardhani*
Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 harus dimaknai sebagai momentum memperkuat solidaritas, memperjuangkan hak secara bermartabat, dan merawat stabilitas sosial nasional. Seluruh elemen masyarakat, khususnya kaum buruh, perlu mewaspadai narasi provokatif dan hoaks yang kerap menyusup dalam dinamika aksi massa. Dalam konteks ini, ajakan kepada buruh untuk tetap menjaga suasana damai dan produktif dalam perayaan May Day menjadi sangat relevan, sekaligus krusial untuk menghindari jebakan pihak-pihak yang berkepentingan memperkeruh situasi.
May Day 2025 harus dimaknai sebagai ajang konsolidasi kekuatan buruh yang berorientasi pada perubahan struktural, bukan sekadar demonstrasi jalanan yang emosional. Momentum ini harus diisi dengan dialog yang produktif, membangun aliansi strategis, serta memperkuat jaringan solidaritas lintas sektor. Buruh Indonesia harus tampil sebagai pelopor perubahan sosial yang progresif dan beradab, bukan terjebak dalam pola-pola usang yang hanya menghasilkan siklus konflik tanpa ujung.
Ketua Umum Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi, menegaskan bahwa May Day seharusnya dirayakan dengan suka cita dan semangat positif. Ia menekankan pentingnya penyampaian aspirasi yang damai, santun, dan produktif tanpa terprovokasi oleh kelompok-kelompok yang ingin mengganggu ketertiban umum. Menurutnya, buruh harus waspada terhadap potensi infiltrasi oknum-oknum yang berniat mencemarkan esensi perjuangan buruh dengan tindakan anarkis atau kekerasan. Habib Syakur mengajak para buruh untuk berfokus pada orasi kreatif, dialog membangun dengan pemerintah, serta berbagai kegiatan positif lainnya yang mencerminkan perjuangan yang cerdas dan bermartabat. Dengan demikian, May Day akan menjadi wujud nyata perjuangan buruh Indonesia yang beradab, bukan ajang kekerasan yang justru merusak solidaritas dan perjuangan itu sendiri.
Sejalan dengan itu, Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Rudi HB Damman, juga memberikan klarifikasi tegas bahwa buruh bukanlah pembuat kekacauan dalam aksi demonstrasi. Menurutnya, stigma bahwa buruh kerap membuat rusuh adalah keliru dan tidak berdasar. Ia menjelaskan bahwa jika terjadi gesekan dalam aksi buruh, biasanya justru akibat provokasi pihak luar yang tidak menginginkan perjuangan buruh berjalan mulus. Rudi menyoroti bahwa aksi buruh bertujuan memperjuangkan hak dan keadilan sosial, bukan menciptakan kerusuhan. Ia menegaskan bahwa May Day adalah momentum penting yang harus digunakan untuk menyuarakan aspirasi secara tegas, damai, dan bermartabat. Sebab, buruh sejatinya adalah pilar penting dalam pembangunan bangsa yang kontribusinya sering kali tidak sebanding dengan perlindungan yang mereka terima.
Pernyataan serupa juga disampaikan Hendri Budaya Saputra, Ketua Serikat Pekerja Semen Andalas (SPSA). Hendri mengimbau agar May Day dijadikan ajang mempererat solidaritas antarpekerja, bukan memperkeruh suasana. Ia menekankan bahwa keberhasilan perjuangan buruh tidak diukur dari seberapa besar massa yang turun ke jalan, melainkan dari seberapa efektif aspirasi tersebut didengar dan ditindaklanjuti oleh pihak terkait. Dengan pendekatan damai dan bermartabat, buruh tidak hanya memperjuangkan hak-haknya, tetapi juga menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi serta kepedulian terhadap stabilitas nasional yang lebih luas.
Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Nurmadi Harsa Sumarta, mengingatkan akan bahaya aksi demonstrasi yang tidak terkelola dengan baik. Menurutnya, demonstrasi yang berujung pada penutupan pabrik justru akan merugikan buruh sendiri, karena berdampak pada terganggunya iklim investasi, kerugian ekonomi, dan bahkan hengkangnya investor dari Indonesia. Dalam situasi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih, ia menilai penting bagi buruh untuk mengutamakan jalur dialog ketimbang konfrontasi. Penutupan usaha akibat demonstrasi yang anarkis tidak hanya memperlemah daya saing nasional, tetapi juga menambah beban pengangguran, yang ujungnya kembali menghantam buruh itu sendiri.
Sebagai jalan keluar, Dr. Nurmadi mendorong pendekatan yang melibatkan pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Ketiga pihak ini harus duduk bersama untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Dunia usaha pun harus menunjukkan tanggung jawab sosialnya dengan memperbaiki kondisi kerja dan menjamin kesejahteraan buruh. Dalam pandangan Dr. Nurmadi, semangat kolaboratif jauh lebih penting dibanding semangat konfrontatif yang hanya akan menghancurkan apa yang telah dibangun bersama dengan susah payah.
Dengan demikian, menjaga stabilitas sosial dalam peringatan May Day 2025 menjadi tanggung jawab bersama. Seluruh pihak, baik buruh, pengusaha, pemerintah, maupun masyarakat umum, harus menyadari pentingnya membangun suasana aman dan kondusif. Buruh perlu tetap berjuang dengan cerdas, damai, dan bermartabat, tanpa terprovokasi narasi hoaks dan agitasi yang bertujuan destruktif. Pemerintah dan aparat keamanan juga wajib memberikan pengawalan yang profesional, menjamin ruang demokrasi terbuka sambil memastikan ketertiban tetap terjaga.
Momentum May Day seharusnya menjadi ajang refleksi bersama untuk memperkuat komitmen terhadap kesejahteraan pekerja, meningkatkan daya saing nasional, dan mempererat persatuan bangsa. Sudah saatnya semua elemen masyarakat bersama-sama meneguhkan bahwa perjuangan buruh adalah perjuangan mulia yang hanya bisa berhasil jika dijalankan dengan semangat damai, solidaritas, dan tanggung jawab sosial yang tinggi.
*Penulis merupakan Pemerhati Isu Perburuhan
