Oleh: Rahmat Arjuna)*
Dalam konteks dinamika ekonomi sosial Indonesia pasca pandemi dan inflasi global, bantuan sosial (bansos) telah menjadi instrumen vital dalam menjaga stabilitas sosial dan mendorong kesejahteraan masyarakat rentan. Menurut Bank Dunia dalam Indonesia Poverty Assessment menyebut bahwa bansos lebih efektif dan efisien dalam menurunkan angka kemiskinan dibanding subsidi energi, terutama karena sifatnya yang langsung menyasar kelompok paling membutuhkan dan progresif dalam mengurangi ketimpangan ekonomi. Bansos juga telah menjadi instrumen penting dalam kebijakan sosial-ekonomi Indonesia, pemerintah aktif menerjemahkan dukungan sosial menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.
Dekan FEB UI, Teguh Dartanto mengatakan bahwa bansos merupakan hak rakyat dan kewajiban negara untuk menjamin perlindungan sosial bagi kelompok rentan. Ia menekankan tujuan bansos bukan hanya meningkatkan konsumsi rumah tangg, tetapi juga mengarahkan penerima menuju kemandirian melalui bantuan produktif seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar) dan KIS (Kartu Indonesia Sehat) serta sistem pengentasan bertahap berbasis kebutuhan (adaptive social protection).
Hal senada diungkapkan oleh Anggota Komisi VIII DPR RI, Abdul Fikri Faqih yang memberikan apresiasi terhadap reformasi bansos dan juga menekankan bahwa transformasi bansos dari skema bantuan tunai menjadi pemberdayaan berbasis potensi lokal dan data tunggal DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) adalah langkah maju. Bansos kini dirancang tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga mengembangkan kapasitas masyarakat dengan program seperti Sekolah Rakyat dan Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dalam pelaksanannya bansos dinilai mampu mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Anggota LPEM Universitas Indonesia, Muhammad Hanri, menunjukkan bahwa bansos selama pandemi terbukti mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Ketika angka kemiskinan hampir menyentuh dua digit di era COVID?19, ia kembali turun ke satu digit setelah distribusi bansos diberlakukan secara efektif. Selain itu juga riset dilakukan oleh SMERU Institute memperlihatkan bahwa tanpa bantuan sosial saat kenaikan harga BBM, kemiskinan berpotensi meningkat dari 9,54?% menjadi hingga 12,77?%. Namun dengan BLT BBM, ke angka hanya sekitar 10,3?%11,1?%, dan kenyataannya BPS melaporkan kenaikan jauh lebih rendah, yaitu hanya 0,03 poin persentase.
Transformasi penyaluran bansosdilakukan ke pendekatan pemberdayaan berbasis data. Kini Pemerintah telah menggeser paradigma bansos dari subsidi konsumtif menjadi program pemberdayaan ekonomi berbasis potensi lokal. Menteri Sosial, Saifullah Yusuf menyatakan bahwa bansos hanya bersifat sementara dan pemberdayaanlah yang menjadi bekal jangka panjang bagi penerima agar dapat mandiri. Pada tingkat nasional, pemerintah menargetkan penggunaan anggaran sosial hingga Rp?100 triliun untuk program produktif pada 2025. Fokusnya adalah pemberian bantuan yang juga melibatkan pelatihan, akses modal, dan pembinaan usaha mikro masyarakat miskin.
Kebijakan ini jika terus dilakukan akan mencegah lonjakan angka kemiskinan karena bansos terbukti efektif saat tekanan ekonomi tinggi seperti pandemi atau inflasi tinggi, menjaga angka kemiskinan tetap stabil. Selain itu, dengan adanya bansos dapat memperkuat ekonomi lokal karena dampak bansos ini dapat dirasakan langsung di UMKM dan pasar lokal sehingga mampu mempercepat perputaran ekonomi di komunitas. Selanjutnya dengan bansos yang bertujuan utama untuk memberdayakan dan bukan untuk membuat ketergantungan membuat masyarakat dapat mengikuti program pemberdayaan produktif sehingga penerima manfaat diharapkan dapat berkembang menjadi mandiri.
Pengaman dan Peneliti CORE (Centre of Reform on Economic), Piter Abdullah memberikan apresiasi dan pujian atas perubahan paradigma bansos menjadi sarana perlindungan dan pemberdayaan. Ia menyoroti pentingnya pendampingan bagi penerima bantuan, integrasi antar lembaga, serta kualitas data agar bansos bisa menjadi alat peningkatan kapasitas masyarakat secara nyata. Serta kebijakan yang menuju profesional dan transparan dapat dilakukan dengan cara pendekatan berbasis data, digitalisasi, dan akuntabilitas sehingga dapat memperkuat legitimasi sosial bantuan.
Secara keseluruhan, strategi bansos yang dijalankan Pemerintah Indonesia menunjukkan perubahan arah yang progresif dan bukan lagi sekadar menyediakan subsidi, tetapi bertransformasi menjadi alat pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini diwujudkan melalui penerapan teknologi digital dalam penyaluran bantuan, termasuk integrasi data penerima melalui sistem seperti DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional) dan Platform Perlinsos, yang bertujuan memastikan bantuan disalurkan secara tepat sasaran dan transparan. Selain itu, bansos kini dirancang untuk mencakup bantuan produktif berbasis potensi lokal. Inisiatif ini dinilai mampu membekali masyarakat dengan keterampilan dan modal dasar menuju kemandirian ekonomi.
Dengan akurasi data yang didukung pembaruan berkala dan verifikasi yang ketat, distribusi bantuan menjadi lebih efisien dan adil. Transformasi ini memastikan bahwa manfaat bansos hadir sebagai modal sosial yang transformative yang juga menjadi titik awal peningkatan kesejahteraan warga, bukan sempurna hanya pengukur konsumsi saja. Secara terpadu, kebijakan ini menyiratkan bahwa bansos telah berevolusi dari sekedar jaring pengaman menjadi fondasi bagi ketahanan ekonomi loal, di mana masyarakat dibimbing dari ketergantungan ke arah produktivitas mandiri.
)* Penulis merupakan Pengamat Ekonomi