Oleh : Michael Tjandra )*
Menjelang momentum sakral, yakni peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, gelombang tren yang menyimpang dari semangat nasionalisme justru kembali mencuat. Fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece, yang juga banyak dikenal dengan simbol Jolly Roger, terus menjadi sorotan berbagai pihak.
Simbol ini berkibar di sejumlah daerah, terutama di kendaraan besar seperti truk, bersamaan atau bahkan menggantikan bendera Merah Putih. Fenomena tersebut bukan hanya bentuk ketidaktahuan, tetapi juga membuka ruang bagi provokasi dan potensi disintegrasi bangsa.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menilai bahwa pengibaran simbol Jolly Roger secara masif bukan sekadar tindakan iseng atau ekspresi kreatif belaka. Ia mengungkap bahwa sejumlah lembaga intelijen telah memberikan laporan mengenai adanya indikasi gerakan sistematis yang memanfaatkan simbol non-negara untuk memecah belah persatuan. Tindakan seperti itu, menurutnya, sangat berbahaya, apalagi di tengah situasi nasional yang sedang fokus mendorong kemajuan dan stabilitas pascakonsolidasi politik.
Dasco menekankan pentingnya menjaga persatuan dan menolak segala bentuk simbol yang berpotensi menjadi pemicu konflik sosial. Ia juga tidak menampik kemungkinan adanya pengaruh pihak luar yang sengaja menciptakan gangguan di tengah upaya pembangunan nasional. Dalam konteks itu, pengibaran bendera Jolly Roger menjadi lebih dari sekadar hiburania bisa berfungsi sebagai alat propaganda terselubung yang menyerang fondasi nasionalisme.
Senada dengan hal tersebut, Wakil Ketua Fraksi Golkar MPR Firman Soebagyo menilai pengibaran bendera bajak laut itu sebagai tindakan provokatif. Ia melihat pola-pola semacam ini sebagai bagian dari upaya memprovokasi masyarakat dan menjatuhkan kewibawaan negara.
Menurut Firman, tindakan mengibarkan bendera non-negara yang menyerupai simbol perlawanan terhadap pemerintahan sepatutnya tidak dianggap remeh. Apalagi dilakukan menjelang momen sakral kemerdekaan yang seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kebangsaan.
Firman bahkan menilai bahwa tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk makar dalam skala simbolik. Oleh karena itu, ia mendorong aparat untuk bertindak tegas, melakukan interogasi terhadap pihak-pihak yang terlibat, dan mengusut motif sebenarnya. Ia juga menilai bahwa tindakan pembinaan menjadi langkah penting untuk mengedukasi pelaku dan mencegah pengulangan kejadian serupa.
Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Parahyangan, Garlika Martanegara, melihat fenomena tersebut sebagai refleksi dari menurunnya kesadaran kebangsaan di kalangan masyarakat. Menurutnya, kecenderungan publik untuk mengonsumsi informasi dari media sosial tanpa verifikasi telah memperparah kondisi literasi nasional. Masyarakat, terutama generasi muda, kerap terjebak pada tren viral tanpa memahami konteks sejarah, hukum, dan nilai-nilai kebangsaan.
Garlika menilai bahwa simbol Jolly Roger kerap diasosiasikan sebagai lambang kebebasan dan perlawanan terhadap sistem yang menindas, sebagaimana digambarkan dalam anime One Piece.
Namun dalam konteks Indonesia, makna tersebut tidak relevan dan bahkan berisiko menimbulkan kesalahpahaman ideologis. Ia juga menyoroti lemahnya pendidikan karakter dan nasionalisme di sekolah-sekolah, yang menyebabkan generasi muda semakin jauh dari simbol-simbol kebangsaan yang sah.
Menurut Garlika, ketika simbol bajak laut dikibarkan bersamaan dengan atau bahkan menggantikan Merah Putih dalam konteks kemerdekaan, masyarakat perlu bertanya: nilai apa yang sebenarnya sedang dirayakan?
Apakah kemerdekaan sebagai hasil perjuangan dan pengorbanan, ataukah semangat anarkisme yang dibungkus dalam budaya pop? Pemaknaan semu terhadap simbol menjadi berbahaya ketika tidak dilandasi dengan pemahaman sejarah dan konstitusi.
Dalam hukum positif Indonesia, Bendera Merah Putih memiliki kedudukan yang sangat jelas sebagai simbol negara yang wajib dihormati. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 secara tegas melarang segala bentuk penghinaan, pelecehan, dan perendahan terhadap bendera negara.
Pengibaran bendera asing, fiksi, atau non-negara yang ditempatkan sejajar atau lebih tinggi dari Merah Putih, apalagi dalam konteks kenegaraan seperti Hari Kemerdekaan, bukan hanya tindakan tidak pantas, tetapi juga dapat memicu konsekuensi hukum dan sosial.
Simbol seperti bendera Jolly Roger tidak memiliki legitimasi hukum dan historis dalam konteks kemerdekaan Indonesia. Menganggapnya sebagai bentuk kritik sosial, apalagi menyandingkannya dengan semangat perjuangan bangsa, adalah bentuk penyimpangan makna yang perlu diluruskan. Ekspresi kebebasan tentu sah dalam demokrasi, tetapi harus tetap berlandaskan pada norma, hukum, dan nilai-nilai kebangsaan.
Fenomena pengibaran bendera bajak laut tidak dapat dipisahkan dari narasi-narasi negatif yang menyasar pemerintah, sering kali disebarkan oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tertentu. Provokasi simbolik seperti ini memiliki daya rusak yang tinggi, karena dapat menyentuh emosi massa, memicu konflik horizontal, dan merusak legitimasi simbol negara.
Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih cermat dan kritis dalam menerima informasi di media sosial. Pemerintah, aparat, dan tokoh pendidikan memiliki tanggung jawab moral untuk memperkuat literasi kebangsaan dan membentengi ruang publik dari infiltrasi simbol-simbol yang menyesatkan. Mengibarkan bendera One Piece dalam konteks perayaan kemerdekaan bukanlah bentuk kreativitas, tetapi distorsi identitas nasional yang harus dihentikan.
Merah Putih bukan sekadar sehelai kain. Ia adalah simbol perjuangan, tumpah darah, dan semangat kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan. Menyamakannya dengan bendera bajak laut fiktif adalah bentuk pelecehan terhadap sejarah bangsa dan harus diluruskan dengan pendekatan hukum, edukasi, dan keteladanan nasional. (*)
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute